Mengapa Kecerdasan Emosional itu Penting?
|
Sumber : www.google.com |
Pendidikan
adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan
berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang diinginkan.
Sekolah sebagai lembaga formal merupakan sarana dalam rangka pencapaian tujuan
pendidikan tersebut. Melalui sekolah, siswa belajar berbagai macam hal. Dalam
pendidikan formal, belajar menunjukkan adanya perubahan yang sifatnya positif
sehingga pada tahap akhir akan didapat keterampilan, kecakapan dan pengetahuan
baru. Hasil dari proses belajar tersebut tercermin dalam prestasi belajarnya.
Namun dalam upaya meraih prestasi belajar yang memuaskan dibutuhkan proses
belajar.
Proses
belajar yang terjadi pada individu memang merupakan sesuatu yang penting,
karena melalui belajar individu mengenal lingkungannya dan menyesuaikan diri
dengan lingkungan disekitarnya. Menurut Irwanto (1997 :105) belajar merupakan
proses perubahan dari belum mampu menjadi mampu dan terjadi dalam jangka waktu
tertentu. Dengan belajar, siswa dapat mewujudkan cita-cita yang diharapkan. Belajar
akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam diri seseorang. Untuk mengetahui
sampai seberapa jauh perubahan yang terjadi, perlu adanya penilaian. Begitu
juga dengan yang terjadi pada seorang siswa yang mengikuti suatu pendidikan
selalu diadakan penilaian dari hasil belajarnya. Penilaian terhadap hasil
belajar seorang siswa untuk mengetahui sejauh mana telah mencapai sasaran
belajar inilah yang disebut sebagai prestasi belajar.
Prestasi
belajar menurut Yaspir Gandhi Wirawan dalam Murjono (1996 :178) adalah: “ Hasil
yang dicapai seorang siswa dalam usaha belajarnya sebagaimana dicantumkan di
dalam nilai rapornya. Melalui prestasi belajar seorang siswa dapat mengetahui
kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya dalam belajar.” Proses belajar di
sekolah adalah proses yang sifatnya kompleks dan menyeluruh. Banyak orang yang
berpendapat bahwa untuk meraih prestasi yang tinggi dalam belajar, seseorang
harus memiliki Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi, karena inteligensi
merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar dan pada
gilirannya akan menghasilkan prestasi belajar yang optimal. Menurut Binet dalam
buku Winkel (1997:529) hakikat inteligensi adalah kemampuan untuk menetapkan
dan mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka
mencapai tujuan itu, dan untuk menilai keadaan diri secara kritis dan objektif.
Kenyataannya,
dalam proses belajar mengajar di sekolah sering ditemukan siswa yang tidak
dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan kemampuan inteligensinya. Ada
siswa yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi tetapi memperoleh prestasi
belajar yang relatif rendah, namun ada siswa yang walaupun kemampuan
inteligensinya relatif rendah, dapat meraih prestasi belajar yang relatif
tinggi. Itu sebabnya taraf inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang
menentukan keberhasilan seseorang, karena ada faktor lain yang mempengaruhi.
Menurut Goleman (2000 : 44), kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20%
bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain,
diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ) yakni
kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati,
mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan bekerja sama.
Dalam
proses belajar siswa, kedua inteligensi itu sangat diperlukan. IQ tidak dapat
berfungsi dengan baik tanpa partisipasi penghayatan emosional terhadap mata
pelajaran yang disampaikan di sekolah. Namun biasanya kedua inteligensi itu
saling melengkapi. Keseimbangan antara IQ dan EQ merupakan kunci keberhasilan
belajar siswa di sekolah (Goleman, 2002). Pendidikan di sekolah bukan hanya
perlu mengembangkan rational intelligence yaitu model pemahaman yang lazimnya
dipahami siswa saja, melainkan juga perlu mengembangkan emotional intelligence
siswa.
Hasil
beberapa penelitian di University of Vermont mengenai analisis struktur
neurologis otak manusia dan penelitian perilaku oleh LeDoux (1970) menunjukkan
bahwa dalam peristiwa penting kehidupan seseorang, EQ selalu mendahului
intelegensi rasional. EQ yang baik dapat menentukan keberhasilan individu dalam
prestasi belajar membangun kesuksesan karir, mengembangkan hubungan suami-istri
yang harmonis dan dapat mengurangi agresivitas, khususnya dalam kalangan remaja
(Goleman, 2002 : 17).
Memang
harus diakui bahwa mereka yang memiliki IQ rendah dan mengalami keterbelakangan
mental akan mengalami kesulitan, bahkan mungkin tidak mampu mengikuti
pendidikan formal yang seharusnya sesuai dengan usia mereka. Namun fenomena
yang ada menunjukan bahwa tidak sedikit orang dengan IQ tinggi yang berprestasi
rendah, dan ada banyak orang dengan IQ sedang yang dapat mengungguli prestasi
belajar orang dengan IQ tinggi. Hal ini menunjukan bahwa IQ tidak selalu dapat
memperkirakan prestasi belajar seseorang.
Kemunculan
istilah kecerdasan emosional dalam pendidikan, bagi sebagian orang mungkin
dianggap sebagai jawaban atas kejanggalan tersebut. Teori Daniel Goleman,
sesuai dengan judul bukunya, memberikan definisi baru terhadap kata cerdas.
Walaupun EQ merupakan hal yang relatif baru dibandingkan IQ, namun beberapa
penelitian telah mengisyaratkan bahwa kecerdasan emosional tidak kalah penting
dengan IQ (Goleman, 2002:44).
Menurut
Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur
kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with
intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the
appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran
diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Menurut
Goleman, khusus pada orang-orang yang murni hanya memiliki kecerdasan akademis
tinggi, mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu
kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan cenderung sulit
mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Bila didukung dengan
rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering
menjadi sumber masalah. Karena sifat-sifat di atas, bila seseorang memiliki IQ
tinggi namun taraf kecerdasan emosionalnya rendah maka cenderung akan terlihat
sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustrasi, tidak mudah
percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung
putus asa bila mengalami stress. Kondisi sebaliknya, dialami oleh orang-orang
yang memiliki taraf IQ rata-rata namun memiliki kecerdasan emosional yang
tinggi.
Sumber :
Goleman, Daniel. (2004). Emitional Intelligence Kecerdasan Emosional
Mengapa EQ Lebih Penting Daripada IQ. Jakata: PT Gramedia Pustaka Utama.
Goleman, Daniel. 2000. Working With Emotional Intelligence
(terjemahan). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Gottman, John. 2001. Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki
Kecerdasan Emosional terjemahan). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Komentar
Posting Komentar