Masyarakat pada umumnya berperilaku sesuai pada aturan dan
norma yang berlaku. Biasanya perilaku ini sangat dominan dengan institusi yang
ada dalam lingkungan sekitar. Seperti di lingkungan pasar yang bergantung pada institusi
di bidang ekonomi yang disebut konformitas, tetapi hal ini sering juga
diselwengkan, penyelewengan ini disebut dengan penyimpangan sosial.
Perilaku sosial itu merupakan hal yang penting dalam
sosialisasi kehidupan, tak ada sedikit pun orang yang mengelak pada perilaku
sosial di sekitar kita. Oleh karena itu perilaku individu maupun kolektif
sangat sarat dengan perilaku sosial perilaku tersebut memberikan dampak
tersendiri bagi dunia sosial yaitu penyimpangan dari perilaku sosial tersebut.
Kehidupan di Indonesia, kita banyak menemukan perilaku dari berbagai individu
maupun kelompok yang tidak sesuai norma dan aturan hal itulah yang dikatakan
sebagai perilaku kolektif.
Pengertian Perilaku Kolektif
Perilaku kolektif adalah
cara berpikir, berperasaan dan bertindak sekumpulan individu yang secara
relatif bersifat spontan dan tidak terstuktur yang berkembang dalam suatu
kelompok atau suatu populasi sebagai akibat dari saling stimulasi antara
individu. Perilaku kolektif ini tidak diatur oleh norma-norma tertentu dan
tidak dilembagakan secara formal. Perilaku kolektif adalah perilaku sekumpulan
orang yang relative bersifat spontan, tidak terstruktur dan tidak stabil.
Bahkan, karena sering
kali karakteristik perilaku kolektif yang bersifat spontan dan tidak
terstruktur maka perilaku itu menjadi melanggar norma-norma sosial yang sudah
mapan (Mueller & Kendall, 2004). Perilaku semacam itu dapat bersifat
sporadis dan dalam jangka waktu yang pendek atau lebih berkesinambungan dan
dalam jangka waktu yang lama. Perilaku kolektif cukup sulit untuk diramalkan
karena sifatnya yang spontan, tidak tersturktur dan tidak stabil. Sifat seperti
ini sangat tidak umum dalam masyarakat atau bahkan terkadang bertentangan
dengan norma atau aturan sosial dalam masyarakat. Demikian pula, karena
alasan-alasan etika, perilaku kolektif sulit untuk diteliti secara objektif
melalui penelitian eksperimen atau eksperimen lapangan (Landis, 1989).
Teori Perilaku Kolektif
a. Value
Added Theory (Teori
Nilai Tambah)
Neil Smelser (Stephan
& Stephan, 1990) yang mengajukan teori nilai tambah (value added theory)
mengemukakan bahwa terdapat enam tahap penentu terjadinya perilaku kolektif,
setiap tahap dipengaruhi oleh tahap sebelumnya dan kemudian mempengaruhi tahap
berikutnya.
Enam tahap itu adalah
kekondusifan struktural, kendala struktural, berkembang dan menyebarnya
keyakinan yang digeneralisasikan, faktor-faktor yang memicu, mobilisasi.
Meskipun teori nilai tambah ini banyak mendapat kritik, sampai saat ini dapat
dipandang sebagai salah satu teori klasik yang cukup resprensif untuk
menjelaskan fenomena perilaku kolektif atau perilaku massa yang terjadi dalam
suatu konteks sosial riil.
Kekondusifan struktural
adalah kondisi-kondisi sosial umum yang dapat menyebabkan timbulnya suatu
perilaku kolektif. Kendala struktural biasanya terjadi apabila bervariasi aspek dari suatau sistem sosial tidak
berjalan secara harmonis. Perang, kerusuhan, krisis ekonomi dan bencana alam
merupakan pemicu yang dapat mengganggu gaya hidup yang sudah mapan. Dalam
keadaan mengalami kendala-kendala struktural itu orang cenderung akan mengalami
frustasi, konflik, kehilangan atau deprivasi, ketidakpastian, dan rasa tegang.
Dalam keadaan mengalami akumulasi stres, orang cenderung menjadi rentan untuk
melakukan tindakan-tindakan yang secara normatif sosial sebenarnya dilarang.
Hal itu terjadi karena mereka mengalami keadaan ketidakpuasan yang sangat
mendalam.
Kendala struktural tidak
secara otomatis melahirkan perilaku kolektif, namun kendala struktural itu akan
melahirkan perilaku kolektif apabila sudah memiliki makna yang signifikan bagi
mereka yang mengalami ketidakpuasan mendalam. Keyakinan yang tergeneralisasikan
secara spesifik memiliki fungsi yaitu :
1.
Memberikan diagnosis
tentang sebab terjadinya kendala struktural
2.
Memberikan semacam
respons atau rencana yang berguna untuk menghadapi dan mengatasi
kendala-kendala struktural yang sedang dialami.
Dalam situasi krisis
moneter pada tahun 1998, panik belanja merupakan repons kolektif sebagian besar
penduduk perkotaan di Indonesia terhadap kecemasan atau kelangkaan sembako.
Respons itu terjadi sebagai akibat dari suatu keyakinan umum sebagian rakyat
yang berkembang pada masa itu bahwa pada masa krisis moneter dan krisis politik,
kemungkinan besar pemerintah tidak mampu menjamin kesediaan sembako.
Kekondusifan struktural,
kendala struktural, dan berkembangnya keyakinan umum memerlukan faktor-faktor
pemicu yang akan menyebabkan timbulnya perilaku kolektif. Peran faktor-faktor
itu sering kali dapat dilihat dalam suatu revolusi sosial sebagai pemicu atau
faktor yang memudahkan terjadinya peristiwa itu. Setiap kali suatu peristiwa
yang memicu perilaku kolektif terjadi, terdapat kecenderungan untuk timbul
proses mobilisasi partisipan atau mobilisasi massa dalam suatu tindakan massa.
Tahap operasi kontrol
sosial membentangi tahap-tahap sebelumnya. Tahap ini memiliki unsur berupa
teknik-teknik yang digunakan oleh elit-elit yang memimpin untuk menghentikan,
melindungi, menghambat, atau mengarahkan akumulasi tahap-tahap yang lain.
Terdapat dua tipe operasi kontrol sosial : pertama, terdapat kontrol sosial
untuk mencapai minimalisasi kekondusifan dan kendala. Kontrol ini merupakan
upaya untuk meredakan ketidakpuasan terhadap program pemberdayaan.
Kedua, memiliki tujuan
untuk merepresi perilaku kolektif pada saat baru di mulai. Operasi kontrol
sosial memiliki pengaruh penting terhadap kecepatan, keleluasan, dan arah
perilaku kolektif yang akan terjadi. Operasi kontrol sosial merupakan instrumen
yang digunakan dalam masyarakat untuk menjaga agar massa berperilaku sesuai
dengan yang diharapkan.
b. Social
Contagion Theory (Teori
Penularan Sosial)
Teori ini menyatakan
bahwa orang akan mudah tertular perilaku orang lain dalam situasi sosial massa.
Mereka melakukan tindakan meniru/imitasi.
c. Emergence
Norm Theory
Menyatakan bahwa perilaku
didasari oleh norma kelompok, maka dalam perilaku kelompok ada norma sosial
mereka yang akan di tonjolkannya. Bila norma ini dipandang sesuai dengan
keyakinannya, dan bersebrangan dengan nilai/norma aparat yang bertugas, maka
konflik horizontal akan terjadi
d. Convergency
Theory
Kerumunan massa akan
terjadi pada suatu kejadia dimana ketika mereka berbagi (converegence) pemikiran dalam menginterpretasi suatu kejadian.
Orang akan mengumpul bila mereka memiliki minat yang sama dan mereka akan
terpanggil untuk berpartisipasi.
e. Deindivuation
Theory
Ketika orang lain dalam
kerumunan, maka mereka akan “menghilangkan” jati dirinya, dan kemudian menyatu
ke dalam jiwa massa.
Adapaun ciri-ciri perilaku kolektif adalah
sebagai berikut :
·
Perilaku yang dilakukan
bersama oleh sejumlah orang.
·
Perilaku yang bersifat
spontanitas dan tidak terstruktur.
·
Perilaku yang tidak
bersifat rutin, dan
·
Perilaku yang merupakan
tanggapan terhadap rangsangan tertentu.
Bentuk dan Ciri Perilaku Kolektif
Ada beberapa bentuk dari perilaku kolektif
antara lain:
1.
Kerumunan (Crowds)
Ada beberapa bentuk kerumunan yaitu :
a.
Inconvenient
aggregation atau kumpulan yang kurang
menyenangkan, meupakan kerumunan dari orang-orang yang ingin berusaha
menggunakan fasilitas yang sama. Dalam kerumunan ini kehadiran orang-orang yang
lain dianggap sebagai suatu kalangan terhadap tercapainya suatu tujuan
seseorang dan akan berakibat terjadinya saling bermusuhan.
b.
Panic
crowds atau kerumunan orang-orang yang sedang
dalam keadaan panik. Dorongan individu-individu dalam kerumunan ini cenderung
untuk mempertinggi rasa panik, menunjukan suatu tanggapan yang bersifat
irasional, dan menyebabkan suatu rintangan yang positif dari bahaya yang umum.
c.
Spectator
crowds atau kerumunan penonton, merupakan
kerumunan dari orang-orang yang ingin melihat suatu kejadian tertentu.
d.
Acting
mobs, yaitukerumunan yang bertindak secara
emosional. Kerumunan ini bertujuan untuk mencapai tujuan-tujuannya dengan jalan
menunjukan kekuatan-kekuatan fisik yang berlawanan dengan norma-norma yang
berlaku dalam masyaraka. Pada umumnya orang-orang bertindak secara emosional karena
merasa tidak adanya keadilan.
e.
Immoral
crowds atau kerumunan-keruman yang bersifat
imoral. Tipe ini hampir sama dengan kelompok-kelompok yang bersifat eksporesif,
akan tetapi bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
2.
Rumor
Rumor dalah suatu
informasi yang tidak dapat dibuktikan, dan dikomunikasikan yang muncul dari
satu orang kepada orang lain (isu sosial). Umumnya terjadi pada situasi dimana
orang seringkali kekurangan informasi untuk membuat interpretasi yang lebih
komprehensif. Media yang digunakan umumnya adalah telepon.
3.
Opini Publik
Opini Publik dalah
sekelompok orang yang memiliki pendapat beda mengenai sesuatu hal dalam
masyarakat. Dalam opini publik ini antara kelompok masyarakat terjadi perbedaan
pandangan / perspektif. Konflik bisa sangat potensial terjadi pada masyarakat
yang kurang memahami akan masalah yang menjadi interes dalam masayarakat
tersebut. Contoh adalah adanya perbedaan pendangan antar masyarakat tentang
hukuman mati, pemilu, penetapan undang-undang tertentu, dan sebagainya.
Bentuknya biasanya berupa informasi yang beda, namun dalam kenyataannya bisa
menjadi stimulator konflik dalam masyarakat.
4.
Propaganda
Propaganda adalah
informasi atau pandangan yang sengaja digunakan untuk menyampaikan atau
membentuk opini publik. Biasanya diberikan oleh sekelompok orang, organisasi,
atau masyarakat yang ingin tercapai tujuannya. Media komunikasi banyak
digunakan untuk melalukan propaganda ini. Kadangkala juga berupa pertemuan
kelompok (crowds).Penampilan dari public figure kadang kala menjadi senjata
yang ampuh untuk melakukan proraganda ini.
Faktor Penentu Perilaku Kolektif
Perilaku kolektif bisa
terjadi dimasyarakat mana saja, baik masyarakat yang sederhana maupun yang
kompleks. Menurut teori Le Bon perilaku
kolektif dapan ditentukan oleh 6 faktor berikut ini :
1.
Situasi sosial
Situasi yang menyangkut ada tidaknya
pengaturan dalam instansi tertentu.
2.
Ketegangan struktural
Adanya perbedaan atau kesenjangan
disuatu wilayah akan menimbulkan ketegangan yang dapat menimbulkan bentrok
ketidakpahaman
3.
Berkembang dan
menyebarnya suatu kepercayaan umum.
Misalnya : berkembangnya isu-isu
tentang pelecehan suatu agama atau penindasan suatu kelompok yang dapat
menyinggung kelompok lain
4.
Faktor yang mendahului
Yakni faktor-faktor penunjang kecemasan
dan kecurigaan yang dikandung masyarakat. Misalnya desas-desus isu kenaikan
harga BBM, yang diperkuat dengan pencabutan subsidi BBM, hal ini dapat memicu
kuat sekelompok orang untuk protes.
5.
Mobilisasi perilaku oleh
pemimpin untuk bertindak.
Perilaku kolektif akan terwujud
apabila khalayak ramai dikomando/dimobilisasikan oleh pimpinannya.
6.
Berlangsungnya suatu
pengendalian social.
Merupakan hal penentu yang dapat
menghambat, menunda bahkan mencegah ke 5 faktor diatas, misalnya : pengendalian
polisi dan aparat penegak hukum lainnya.
Dari
keenam faktor penentu tersebut merupakan suatu rangkaian yang dapat menyebebkan
terjadinya suatu perilaku kolektif.
Bentuk penyimpangan sosial tersebut
dapat dihasilkan dari adanya pergaulan atau pertemanan sekelompok orang yang
menimbulkan solidaritas antar anggotanya sehingga mau tidak mau terkadang harus
ikut dalam tindak kenakalan atau kejahatan kelompok. Bentuk
penyimpangan kolektif:
Bentuk Penyimpangan Perilaku Kolektif
1.
Tindak Kenakalan
Suatu kelompok yang didonimasi
oleh orang-orang yang nakal umumnya suka melakukan sesuatu hal yang dianggap
berani dan keren walaupun bagi masyarakat umum tindakan trsebut adalah bodoh,
tidak berguna dan mengganggu.
2.
Tawuran / Perkelahian
Antar Kelompok
Pertemuan antara dua atau
lebih kelompok yang sama-sama nakal atau kurang berpendidikan mampu menimbulkan
perkelahian di antara mereka di tempat umum sehingga orang lain yang tidak
bersalah banyak menjadi korban.
3.
Tindak
Kejahatan Berkelompok / Komplotan
Kelompok jenis ini suka
melakukan tindak kejahatan baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terbuka.
Jenis penyimpangan ini bisa bertindak sadis dalam melakukan tindak kejahatannya
dengan tidak segan melukai hingga membunuh korbannya.
4.
Penyimpangan Budaya
Penyimpangan kebudayaan
adalah suatu bentuk ketidakmampuan seseorang menyerap budaya yang berlaku
sehingga bertentangan dengan budaya yang ada di masyarakat.
Sumber :
Hanurawan, F. (2010). Psikologi Sosial.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Narwoko, D., & Suyanto, B.
(2004). Kelompok-kelompok Sosial Tidak Teratur. In D. Narwoko, & B.
Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan (pp. 35-40). Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Zumaro, A. (2011, Mei 26). Perilaku
Kolektif dan Penyimpangan. Retrieved from Google:
https://ahmadzumaro.wordpress.com/2011/05/26/perilaku-kolektif-dan-penyimpangannya/
Komentar
Posting Komentar